Sebelum memiliki nama Indonesia, tampaknya negara kita memiliki beberapa kali nama lain, sebelum akhirnya diputuskan untuk menjadi Indonesia. Apa nama-nama itu sebelum Indonesia? Berikut ini adalah nama-nama, yang dikumpulkan dari berbagai sumber.
Menurut catatan kuno Tiongkok, mereka pernah menyebut Indonesia dengan nama Nan-hai, yang berarti Kepulauan Laut Selatan. Kemudian orang-orang India juga biasa menyebut Indonesia dengan Dwipantara, yang berarti Pulau-Pulau Lawan. Sementara itu, orang Arab menyebut tanah air kita dengan nama al-Jawi Jaza'ir yang artinya Pulau Jawa.
Pada era SM, nama yang digunakan untuk nama negara kita adalah Hindia (Hindia). Nama ini adalah ciptaan oleh Herodotus, seorang ilmuwan sejarah Yunani (484-425 SM), dan penggunaan nama Hindia menjadi populer sejak kedatangan Portugis dipelopori oleh Vasco da Gama pada tahun 1498.
Setelah Portugis, datanglah Belanda yang menguasai Indonesia. Kedatangan mereka didahului oleh kedatangan Cornelis de Houtman pada tahun 1596. Belanda kemudian memberi nama Nederlandsch Oost-Indie untuk negara kita, dan pernah diganti menjadi Nederlandsch Indie.
Ada juga nama yang diusulkan untuk nama negara kami. Yang paling terkenal adalah proposal dari Eduard Douwes Dekker, yang dikenal dengan nama samaran Multatuli.
Menurut catatan kuno Tiongkok, mereka pernah menyebut Indonesia dengan nama Nan-hai, yang berarti Kepulauan Laut Selatan. Kemudian orang-orang India juga biasa menyebut Indonesia dengan Dwipantara, yang berarti Pulau-Pulau Lawan. Sementara itu, orang Arab menyebut tanah air kita dengan nama al-Jawi Jaza'ir yang artinya Pulau Jawa.
Pada era SM, nama yang digunakan untuk nama negara kita adalah Hindia (Hindia). Nama ini adalah ciptaan oleh Herodotus, seorang ilmuwan sejarah Yunani (484-425 SM), dan penggunaan nama Hindia menjadi populer sejak kedatangan Portugis dipelopori oleh Vasco da Gama pada tahun 1498.
Setelah Portugis, datanglah Belanda yang menguasai Indonesia. Kedatangan mereka didahului oleh kedatangan Cornelis de Houtman pada tahun 1596. Belanda kemudian memberi nama Nederlandsch Oost-Indie untuk negara kita, dan pernah diganti menjadi Nederlandsch Indie.
Ada juga nama yang diusulkan untuk nama negara kami. Yang paling terkenal adalah proposal dari Eduard Douwes Dekker, yang dikenal dengan nama samaran Multatuli.
Dia telah mengusulkan nama tertentu untuk menyebut tanah air kita, yaitu Insulinde, yang berarti Kepulauan India. Namun ternyata nama Insulinde kurang populer. Bagi penduduk Bandung, Insulinde hanya dapat dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.
Pada 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker, yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (dia adalah cucu dari saudara laki-laki Multatuli), mempopulerkan nama untuk tanah kami yang tidak mengandung kata India. Nama itu adalah Nusantara, sebuah istilah yang telah tenggelam selama berabad-abad.
Setiabudi mengambil nama dari Pararaton, naskah kuno Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 yang kemudian diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Kemudian pada tahun 1847, diterbitkan di Singapura sebuah jurnal ilmiah tahunan, Jurnal Kepulauan India dan Asia Timur (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Edinburgh . Kemudian pada tahun 1849 seorang etnolog Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), bergabung sebagai editor majalah JIAEA.
Dalam Volume IV JIAEA tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis sebuah artikel berjudul "Tentang Karakteristik Terkemuka Bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia Bangsa". Dalam artikel itu, Earl menegaskan bahwa sudah tiba waktunya bagi orang-orang dari Kepulauan India atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama-nama yang berbeda, karena nama India tidak sesuai dan sering membingungkan dengan sebutan lain tentang India. Earl mengemukakan dua nama, yaitu Indunesia atau Malayunesia.
Pada 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker, yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (dia adalah cucu dari saudara laki-laki Multatuli), mempopulerkan nama untuk tanah kami yang tidak mengandung kata India. Nama itu adalah Nusantara, sebuah istilah yang telah tenggelam selama berabad-abad.
Setiabudi mengambil nama dari Pararaton, naskah kuno Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 yang kemudian diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Kemudian pada tahun 1847, diterbitkan di Singapura sebuah jurnal ilmiah tahunan, Jurnal Kepulauan India dan Asia Timur (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Edinburgh . Kemudian pada tahun 1849 seorang etnolog Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), bergabung sebagai editor majalah JIAEA.
Dalam Volume IV JIAEA tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis sebuah artikel berjudul "Tentang Karakteristik Terkemuka Bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia Bangsa". Dalam artikel itu, Earl menegaskan bahwa sudah tiba waktunya bagi orang-orang dari Kepulauan India atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama-nama yang berbeda, karena nama India tidak sesuai dan sering membingungkan dengan sebutan lain tentang India. Earl mengemukakan dua nama, yaitu Indunesia atau Malayunesia.
Earl mengatakan dia lebih suka nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan India), karena Malayunesia sangat cocok untuk ras Melayu dan bahasa yang digunakan, sedangkan Indunesia juga dapat digunakan untuk Ceylon (Sri Lanka) dan Maladewa.
Sementara itu Logan, dalam sebuah artikel dengan volume yang sama, memilih nama Indunesia yang dibuang Earl, dan mengganti huruf U dengan huruf O untuk pengucapan yang lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama Indonesia dalam tulisan ilmiahnya, dan secara bertahap penggunaan istilah ini menyebar di kalangan ilmuwan di bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 seorang profesor etnologi di Universitas Berlin bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan lima jilid buku "Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel", berisi hasil-hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita pada tahun 1864-1880 .
Itu adalah buku Bastian yang mempopulerkan istilah Indonesia di antara para sarjana Belanda, jadi ia mengangkat gagasan bahwa istilah Indonesia diciptakan oleh Bastian. Meskipun demikian, Bastian mengambil istilah Indonesia dari tulisan-tulisan Logan.
Akhirnya, nama Indonesia terus digunakan hingga saat ini. Apakah perubahan nama akan terjadi lagi, seperti yang dikabarkan beberapa waktu lalu, bahwa Indonesia akan kembali ke nama Nusantara?
Sementara itu Logan, dalam sebuah artikel dengan volume yang sama, memilih nama Indunesia yang dibuang Earl, dan mengganti huruf U dengan huruf O untuk pengucapan yang lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama Indonesia dalam tulisan ilmiahnya, dan secara bertahap penggunaan istilah ini menyebar di kalangan ilmuwan di bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 seorang profesor etnologi di Universitas Berlin bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan lima jilid buku "Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel", berisi hasil-hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita pada tahun 1864-1880 .
Itu adalah buku Bastian yang mempopulerkan istilah Indonesia di antara para sarjana Belanda, jadi ia mengangkat gagasan bahwa istilah Indonesia diciptakan oleh Bastian. Meskipun demikian, Bastian mengambil istilah Indonesia dari tulisan-tulisan Logan.
Akhirnya, nama Indonesia terus digunakan hingga saat ini. Apakah perubahan nama akan terjadi lagi, seperti yang dikabarkan beberapa waktu lalu, bahwa Indonesia akan kembali ke nama Nusantara?
0 comments:
Post a Comment